Pages

Jan 17, 2014

HUKUM Warga Negara ASING Membeli RUMAH / TANAH di INDONESIA

HUKUM Warga Negara ASING Membeli RUMAH / TANAH di INDONESIA  

 

          

Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) dan Badan Hukum Asing (BHA) yang mempunyai perwakilan di Indonesia secara garis besar telah diatur dalam Pasal 41 & Pasal 42 Undang - Undang Pokok Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah.

            Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing (WNA) yang berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing (BHA) yang memiliki perwakilan di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP). Dengan demikian tidak dibenarkan Warga Negara Asing (WNA) atau Badan Hukum Asing (BHA) memiliki tanah dan bangunan dengan status Hak Milik (HM). Hubungan hukum antara Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA), serta perbuatan hukum mengenai tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 9 UUPA menyatakan hanya warga negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang udara Indonesia.


Dalam penjelasannya dikatakan hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat 2 UUPA), dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi “Batal Demi Hukum.” Namun demikian UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan warga negara asing dan badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga negara asing dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh dengan status hak pakai. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan warga negara Indonesia diatas segala-galanya baik dari segi ekonomi, sosial, politis dan malahan dari sudut Hankamnas.

           Dalam praktik, tidak sedikit warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya berstatus Hak Milik di wilayah Propinsi Aceh, khususnya Sabang, dan daerah lainnya dengan cara melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing melakukan kesepakatan atau perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga Negara Asing-lah yang menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak milik tersebut.

Tindakan demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam hal ini UUPA, dan karena itu merupakan tindakan yang disebut penyelundupan hukum. Coba periksa Pasal 26 (ayat 2) UUPA, yang menyatakan setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.
Akan tetapi, pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 41 tahun 1996 yang mengatur tentang pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh WNA. Peraturan Pemerintah ini berisi antara lain:
WNA yang berkedudukan di Indonesia diperkenankan untuk memiliki 1 rumah tinggal (Satuan Rumah Susun) yang dibangun di atas tanah Hak Pakai.

              Rumah yang berdiri di atas tanah Hak Pakai (HP) tersebut dapat berasal dari HP atas Tanah Negara atau HP yang berasal dari tanah Hak Milik (HM) yang diberikan oleh Pemegang Hak Milik.
Pemberian Hak Pakai (HP) oleh pemegang Hak Milik (HM) ini diberikan dengan akta PPAT & perjanjiannya harus dicatat dalam Buku Tanah dan Sertifikat Hak Milik atas tanah.
Penguasaan tanah oleh orang asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan 42 UUPA. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1996entang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah dan PP nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.



Dalam PP Nomor 41 tahun 1996 terdapat syarat, orang asing yang dapat mempunyai rumah tinggal di Indonesia adalah orang asing yang kehadirannya memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.
Orang asing tersebut dibatasi boleh memiliki satu rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri sendiri, atau satuan rumah susun, yang dibangun diatas tanah hak pakai. Hak pakai tersebut diberikan paling lama untuk jangka waktu 25 tahun. Berbeda dengan jenis hak berjangka waktu lainnya seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat diperpanjang untuk waktu tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama berakhir. Hak Pakai rumah tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat diperbarui untuk jangka waktu 20 tahun dengan ketentuan orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia.

                 Jangka waktu ’hanya’ 25 (dua puluh lima) tahun tersebut dinilai banyak kalangan sudah tidak kondusif dengan perkembangan dunia global sekarang ini, tidak menarik minat orang asing untuk membeli rumah di Indonesia. Sebagai perbandingan, Singapura membolehkan warga negara asing untuk memiliki bangunan komersial, hotel dan hunian dengan jangka waktu hak tanah 99 tahun, dan untuk industri diberikan 60 tahun. Di Thailand, hak sewa menyewa dengan warga negara asing berlaku selama 30 tahun dengan perpanjangan 30 tahun. Sedangkan di Kamboja antara 70 sampai dengan 99 tahun.
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini membatasi pengertian rumah tempat tinggal yang dapat dimiliki orang asing. Rumah tinggal yang dapat dimiliki WNA adalah yang berdiri diatas ’hak pakai atas tanah negara’ atau ’hak pakai diatas hak milik’. Khusus yang diatas hak milik didasarkan pada perjanjian dengan pemegang hak milik yang dibuat dengan akta PPAT (jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN nomor 7 tahun 1996 dan nomor 8 tahun 1996). Dalam PP ini tidak disebut mengenai rumah yang berdiri di atas hak pakai yang berasal dari hak pengelolaan.



Baca Juga ARTIKEL :


0 komentar:

Post a Comment

PERUMAHAN MURAH